Detik-detik Pemakaman Jenazah Muallif Sholawat Wahidiyah RAHadrotul Mukarrom Muallif RA. Romo KH Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah RA yang amat kita cintai, kita taati dan kita dereki, dipanggil mengahadap Alloh SWT pada hari Selasa Wage tanggal 7 Maret 1989 bertepatan dengan 29 Rojab 1410 H pukul 10.35 WIB di rumah duka yang berdekatan Kantor PSW Pusat Kedunglo.

Kejadian-kejadian Penting Detik-detik Menjelang Pemakaman Jenazah Hadrotul KH Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah RA


Kejadian-kejadian Penting Detik-detik Menjelang Pemakaman Jenazah Hadrotul KH Abdoel Madjid Ma’roef Muallif Sholawat Wahidiyah RA


Jenazah dimakamkan pada hari Rabo Kliwon tangal 8 Maret 1989 = 29 Rojab 1410 H pukul 09.00 pagi. 

Mari kita sampaikan penghormatan dengan membaca Al Fatihah dan Istighosah !

الفاتحة
يَـآ أَيُّهَا الْغَوْثُ سَـلاَمُ اللهْ.* عَلَيْـكَ رَبِّـنِى بِـإِذْنِ آللهْ 
وَانْظُرْ إِلَىَّ سَيِّدِى بِنَظْـرَةْ.* مُـوْصِلَةٍ لِلْحَضْـرَةِ الْعَـلِيَّةْ

Pada malam Rabo tanggal 7 Maret 1989 kurang lebih sekitar pukul 21.00 WIB, Hadrotul Mukarromah Ibu Nyahi Hajjah Shofiyah Madjid nimbali (memanggil) semua para Ketua PSW Pusat yang sudah hadir di Kedunglo untuk berkumpul bersama keluarga di ruang depan rumah yang ditempati H Agus Abdul Latif Madjid. Yang hadir :

Pertama, Dari Keluarga


  1. Al Mukarromah Ibu Nyahi Madjid.
  2. Al Mukarromah Ibu Dra Nurul Ismah-Faiq.
  3. Al Mukarrom H Agus Abdul Latif Madjid.
  4. Al Mukarrom Agus Abdul Hamid Madjid.
  5. Dan beberapa putri-putri Beliau RA yang masih timur. Penulis tidak ingat siapa-siapa namanya. Al Mukarromah Ibu Hj Dra Tatiek Farichah-Madjid yang domisili di Surabaya belum datang di Kedunglo waktu itu.


Ke-Dua, Dari PSW Pusat


  1. KH Zaenal Fanani, Ketua Bidang Khusus.
  2. KH Ihsan Mahin, Ketua Bidang Khusus.
  3. KH Mohammad Jazuli Yusuf, Ketua Bidang Khusus.
  4. A.F Baderi, Ketua I PSW Pusat.
  5. Drs Syamsul Huda, Ketua II PSW Pusat.
  6. Agus Abdul Hamid Madjid, Ketua III PSW Pusat.
  7. Agus H Abdul Latif Madjid, Ketua IV PSW Pusat.
  8. Mohammad Ruhan Sanusi, Ketua V PSW Pusat.
  9. KH Mahfudz Shiddiq, Ketua VI PSW Pusat belum datang di Kedunglo waktu itu.


Ke-Tiga, Dari bukan termasuk A dan B.


  1. K Fauzan, Kalipare Malang.
  2. KH Ahmad Nur, Bululawang Malang.
  3. Ibu Nyahi Fauzan.
  4. Ibu Nyahi Hj Ahmad Nur
Setelah acara dibuka oleh AF Baderi, langsung Al Mukarromah Ibu Nyahi Madjid dawuh antara lain sebagai berikut :

“Embah Yahi (maksudnya Romo Muallif RA) mboten ninggalaken dawuh wasiat punopo-punopo. Anak kulo ingkang sampun saged diajak rembukan wonten sekawan : Nurul, Tatik, Latif dan Hamid. Nanging menawi Tatik sampun criyos mboten bade manggen ing Kedunglo. Dados kantun tigo. Tinggalane Embah Yahi wonten kalih, Pondok Kedunglo lan Wahidiyah. tinggalane Embah Yahi ingkang arupi pondok, anggit kulo pondok Putri kersane diurusi Nurul, Pondok Jaker diurusi Hamid, lan sekolahan (SMP & SMA) diurusi Latif. Wondene tinggalane Embah Yahi Sholawat Wahidiyah, kulo nsuwun anak-anak kulo sedoyo sareng-sareng kaliyan Bapak-Bapak Pusat nerusaken Perjuangan Wahidiyah”. Tinggalane Embah Yahi.

(“Embah Yahi (Romo Muallif RA) tidak meninggalkan wasiat apa-apa. Anak-anak saya yang sudah bisa diajak berunding ada empat : Nurul, Tatik, Latif dan Hamid. Tetapi kalau Tatik sudah bilang tidak akan menetap di Kedunglo. Jadi tinggal tiga. Peninggalan Embah Yahi ada dua, Pondok Kedunglo dan Wahidiyah. Peningglan Embah Yahi yang berupa Pondok, keinginan saya, Pondok Putri supaya diurusi oleh Nurul, Pondok Putra diurusi Hamid, dan sekolahan (SMP & SMA)  diurusi Latif. Adapun peninggalan Embah Yahi Sholawat Wahidiyah, saya mohon anak-anak saya dengan Bapak-bapak Pusat meneruskan Perjuangan Wahidiyah”). peninggalan Embah Yahi.

Semua yang hadir serempak : “Setuju, sam’an wa tho’atan !”.

Terdengar suara Gus Latif berbisik kepada Bu Nurul, ” Siapa yang jadi Pimpinan?“. Bu Nurul menimpali, ”Sudahlah kamu diam saja. Itu nanti dimusyawarahkan belakangan”.

Selanjutnya disepakati bahwa apa yang telah didawuhkan Al Mukarromah Ibu Nyahi Madjid tersebut supaya diumumkan oleh Protokol pada saat upacara pemakaman jenazah besok pagi. Disepakati yang menjadi protokol , Mohammad Ruhan Sanusi. Pertemuan diakhiri dengan Mujahadah.

Pagi-pagi, hari Rabo 8 Maret 1989 pukul 06.00 WIB semua Pengurus PSW Pusat termasuk Unsur Pembantu Pimpinan dipanggil lagi berkumpul di rumah duka ndalem selatan. Di situ sudah berkumpul seluruh keluarga. Semua duduk di lantai di sekeliling jenazah.

Pertemuan dibuka oleh AF Baderi, Ketua I PSW Pusat. Diumumkan aka ada pengumuman penting dari keluarga yang akan disampaikan oleh Ibu Dra Nurul Ismah Faiq. Langsung beliau membacakan apa yang akan dinamakan “Putusan Keluarga”. 

Isinya kurang lebih :

  1. Pimpinan Umum baik Pondok Kedunglo maupun Perjuangan Wahidiyah dipegang oleh Agus H Abdul Latif.
  2. Pondok Putri dibantu oleh Dra Nurul Ismah Faiq.
  3. Pondok Putra dibantu oleh Agus Imam Yahya Malik dan Agus Hamid Madjid.
Begitu selesai pembacaan “Putusan Keluarga”, Agus Abdul Hamid minta waktu bicara. Setelah dipersilahkan beliau bicara singkat intinya kurang lebih :
“saya keberatan dicantumkan seperti itu. Saya tidak usah dicantumkan. saya keberatan. Saya akan membantu saja”.

Pertemuan diakhiri dengan Mujahadah singkat. Selanjutnya persiapan upacara pemakaman jenazah.

Para Ketua PSW Pusat berada di Kantor PSW Pusat, antara lain KH Zaenal fanani, KH Ihsan Mahin, KH Mohammad Jazuli Yusuf, Drs Syamsul Huda, Mohammad Ruhan Sanusi. Semua terdiam, merenung penuh tanda tanya atas “Putusan Keluarga”, kok berbeda dengan apa yang didawuhkan oleh Al Mukarromah Ibu Nyahi Madjid tadi malam. Pak Badri masuk, memberitahukan persiapan upacara pemakaman jenazah sudah siap. Mohammad Ruhan sanusi sambil tidak bisa menahan tangisnya mengatakan :

“Saya tidak berani menjadi protokol, lebih-lebih mengumumkan “Putusan Keluarga”, sebab tidak sama dengan dawuh Ibu Nyahi tadi malam. Saya takut !/ saya takut sekali kepada Romo Muallif RA”. Sambil menjerit.

Semua terdiam tidak ada yang dapat memberi solusi jalan keluar. Pak Badri keluar katanya akan menemui Bu Nurul dan Gus Latif.

Beberapa saat kemudian pak Badri masuk, memberi tahu bahwa ini sudah menjadi hak keluarga, harus diumumkan. Protokolnya Pak Mahrus, dan saya yang diminta mengumumkan, kata Pak badri. KH Zaenal Fanani nyelentuk menegor AF Baderi :  “Du (singkatan kata serdadu), engkau akan mengumumkan itu harus istikdzan dulu kepada Gus Hamid sebab tadi Gus Hamid kan keberatan !”. Para Ketua yang lain setuju tegoran KH Zaenal Fanani.

AF Badri keluar, menemui Gus Hamid di rumahnya. Mohammad Ruhan Sanusi mengikuti. Di situ sudah ada beberapa orang, antara lain Kh Ihsan Mahin. AF Baderi minta izin Gus Hamid untuk mengumumkan “Putusan Keluarga”.

 “Silahkan, tetapi saya tetap keberatan dicantumkan seperti itu”. Jawab Gus Hamid. “Dawuhnya Bu Nurul dan Gus Latif, ini haknya keluarga harus diumumkan” kata Pak Badri. Gus Hamid dengan cepat menjawab dengan nada keras seperti marah : “Keluarga punya hak, saya juga punya hak. Hak saya yaitu, saya keberatan !”. 

Semua yang ada di ruang itu terdiam. Mohammad Ruhan Sanusi mengusulkan supaya pengumuman ditangguhkam dan diadakan musyawarah keluarga dan Bapak-bapak Ketua PSW Pusat. Tidak ada yang memberi jawaban. Petugas Satpam kalau tidak salah Pak Marsam Minthoha memberi tahu bahwa para pentakziyah sudah memadati halaman. Upacara pemakaman sudah siap dimulai. Begitulah selanjutnya “Putusan Keluarga” diumumkan oleh AF Badri Ketua I PSW Pusat.

Catatan: Pertama, Pada kesempatan lain salah seorang Ketua PSW Pusat bertanya kepada Gus Hamid, apa alasannya tidak mau dicantumkan dalam “Putusan Keluarga”. Gus Hamid menjawab antara lain : 

“Saya tidak pernah diajak musyawarah keluarga. Saya hanya disuguhi konsep pada pukul 2 tadi malam. Tetapi tidak menyebut-nyebut “Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah” seperti itu”. “Kalau saya mengikuti “Putusan Keluarga” seperti itu, berarti saya khianat kepada Embah Yahi. Dan kalau saya melaksanakan amanat Embah Yahi, saya akan menjadi crah (pecah) dengan saudara saya”.

Ditanya apa yang dimaksud “Amanat Embah Yahi” , Gus Hamid menjawab singkat: “Wasiat 9 Mei 1986”. Ditanya lagi mana yang diberatkan diantara dua pilihan ?. Beliau menjawab : “Amanat Embah Yahi”.

Ke-dua, Informasi dari Agus Imam Yahya Malik, kurang lebih :

“Waktu itu (malam Rabo) jam 2.00 malam saya ditimbali ke ndalem selatan. Di situ sudah ada Embah Nyahi dan Bu Nurul. Saya cuma diberi tahu begini begitu, tetapi saya kurang perhatian karena hati saya sangat tersayat berkabung atas wafatnya Embah Yahi. Yang jelas tidak ada kata-kata “Pimpinan Umum”. 

Dan tidak ada musyawarah keluarga. Remang-remang di kamar sebelah ada orang yang mendengarkan, tetapi tidak jelas siapa itu. Hanya itu saja”.***

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama