Sebagaimana dalam hal ibadah, dalam hal mu’amalah, para pengamal Sholawat Wahidiyah juga menjunjung tinggi nilai-nilai salafiyah. Dalam kaitan ini, ada kisah menarik tentang pengalaman Syaikh KH. Ihsan Mahin dalam hal memilih warung makan.[1]
Ketika KH. Ihsan Mahin sedang dalam perjalanan dan kemudian ada keinginan mampir makan, dia tidak akan begitu saja langsung masuk warung. Ada ketelitian tersendiri dalam hal memilih warung. Pertama, warungnya harus bersih karena kebersihan adalah sebagian dari iman. Jika warungnya bersih maka hal itu menandakan bahwa pemilik warung adalah orang yang beriman dan menjaga dengan baik keimanannya. Apabila pemilik warung sengaja menjual makanan dan minuman kepada orang lain maka mutlak baginya menjaga kebersihan warungnya. Warung merupakan tempat bagi semua barang dagangan yang dipajang dan dijual. Kebersihan warung merupakan jaminan bagi kebersihan semua barang yang ada di dalamnya. Dengan demikian, kebersihan warung makanan dan minuman merupakan jaminan bagi terjaganya kebersihan makanan dan minuman yang dijual oleh pemiik atau pelayannya.
selain alasan keimanan penjual atau pelayan warung serta jaminan kebersihan makanan dan minuman yang dijualnya, kebersihan warung juga penting bagi terpeliharannya kesehatan. Warung yang bersih dapat menjadi jaminan bagi terjaganya makanan dan minuman yang jauh dari ancaman pernyakit, misalnya penyakit yang dibawa oleh binatang-binatang yang biasanya suka mengerumuni tempat-tempat yang tidak bersih atau jorok.
Kedua, pemilik atau pelayan warungnya juga diperhatikan, apakah dia-jika perempuan-memakai kerudung atau tidak karena kerudung merupakan simbol identitas seorang yang taat beragama. Orang yang seperti ini dipercaya berhati-hati dalam hal memasak dan menjual makanan dan minumannya. Tentu pemilihan terhadap bahan masakan, cara memasak, dan cara menjualnya juga memperhatikan ajaran-ajaran agama. Dalam ungkapan singkat, sebagaimana diceritakan kepada bapak Bahrul Ulum, KH. Ihsan Mahin pernah mengatakan: “Tidak semua orang mengerti air dua kulah”. Orang yang mengerti air dua kolah merupakan tanda bahwa dia memahami ajaran dan hukum Islam. Sebab ukuran dua kulah tersebut merupakan jaminan standar bagi kadar kesucian air yang cukup digunakan untuk bersuci.
Ketiga, pemilik warung atau penjual makanan juga  diperhatikan labih jauh dari sisi kebersihan badannya. Di sini yang akan dipilih adalah pemilik warung atau penjual makanan yang berbadan bersih. Sebab, jika badannya bersih, tentu dia juga akan memperlakukan barang jualannya secara bersih. Selain itu, dalam mandangan masyarakat umum, jika si penjual makanan berbadan besih, atau mungkin plus berpenampilan menawan, hal ini dapat membantu meningkatkan selera makan bagi konsumennya.
Apabila ketiga syarat itu terpenuhi dalam sebuah warung makanan atau minuman maka KH. Ihsan Mahin tidak akan segan-segan untuk mampir ke warung tersebut.
Menurut hemat penulis, selektivitas dalam pemilihan warung yang dilakukan KH. Ihsan Mahin merupakan sebagian dari eksprsi kehati-hatiannya dalam menerapkan ajaran agama bidang mu’amalah. Sikap berhati-hati dalam memilih makanan memang sesuatu yang dianjurkan. Sebab, makanan dan minuman yang diserap oleh tubuh akan berpengaruh terhadap perkembangan ruhani si pemakan dan peminumnya. Perkembangan ruhani ini selanjutnya juga berpengaruh terhadap warna perilaku dan kondisi pengalaman ibadahnya. Oleh karena itu, jika perlu memilih makanan dan minuman yang dijamin kebersihan, kesucian, dan kehalalannya, agar tidak terkena sanksi larangan dan tidak berpengaruh buruk terhadap perkembangan ruhani dan pengalaman beribadah.
Dalam kaitan dengan pengaruh makanan tersebut, suatu aat KH. Ihsan Mahin memberikan penjelasan kepada salah seorang puterinya, Tsulasa’: jika seseorang terlanjur makan seekor semut-karena tidak sengaja-misalnya, hatinya akan gelap selama 40 hari.[2] Ini merupakan gambaran sederhana bahwa makanan dan minuman yang diserap oleh tubuh akan berpengaruh terhadap perkembangan ruhani. Padahal semut tidak pernah disebut sebagai hewan yang haram dimakan.
Dari penjelasan tersebut sebenarnya dapat diambil pelajaran bahwa kehati-hatian dalam memilih makanan dan minuman adalah penting untuk diperhatikan agar perkembangan ruhani dan pengalaman beribadah dapat berlangsung dengan baik, demi kesempurnaan ibadah kepada Allah.[3]





[1]Kisah ini diceritakan penulis oleh Bapak Bahrul Ulum, salah seorang santri KH. Ihsan Mahin dan Staf pengajar di Pesantren At-Tahdzib (PA) Rejoagung Ngoro Jombang. Kisah tersebut diperoleh dari KH. Ihsan Mahin sendiri. Kisah tersebut diceritakan pada saat penulis dan Bapak Bahrul Ulum kembali ke PA dari perjalanan penggalian data-data konseptual tentang wahidiyah kepada Kiai Zainuddin Tamsir, salah seorang tokoh Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW) dan pengasuh Pesantren At-Tahdziby di Desa Sagen Kecamatan Geger Kabupaten Madiun,, (16 Maret 2006).
[2]Informasi diperoleh penulis dari Ning Tsulasa’, salah seorang puteri KH. Ihsan Mahin, (15 Maret 2006).
[3]Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Surabaya: IMTIYAZ, 2015), hlm. 279-281.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama